Thursday, February 6, 2014

Melbourne by: Winna Effendi

Selesai baca buku ini dalam satu hari, dan jujur ini bukan seri STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) favorit saya. Saya akan mereview secara subyektif karena mungkin yang bikin saya kurang suka buku ini adalah karena ini bukan buku tipe saya (halah). Setelah selesai baca, saya udah yakin buku ini punya pasarnya sendiri, dan punya penggemarnya sendiri. Karena untuk orang yang suka baca buku yang menjelaskan dengan detil perasaan seseorang, atau orang yang suka baca tulisan disertai lirik lagu (apalagi kalau tahu lagunya) buku ini AMAT SANGAT menarik. Kalau saya adalah orang itu, saya akan merasa tersanjung bisa mengoleksi buku ini.

Tapi sekali lagi, sayangnya saya bukan tipe pembaca begitu, jadi untuk saya pribadi, buku ini kurang berkesan. Saya akan menjabarkan kenapa saya kurang bisa masuk dengan cerita di buku ini.

1. Setting
Menurut saya, ini adalah seri STPC yang settingnya paling gak kerasa. Secara keseluruhan, buku ini bercerita mengenai perasaan Max dan Laura dengan plot rewind-play-fast forward. Oke, tempatnya memang di Melbourne, tapi kebanyakan mereka berdua nongkrong di prudence, cafe kesukaan mereka, sambil membicarakan kembali masa lalu. Sementara Melbournenya sendiri, yang notabennya jadi judul, malah kurang dieksplor. Emang sih ada beberapa adegan di tempat-tempat tertentu di Melbourne, tapi menurut saya tetap kurang kerasa karena cuma sekilas-sekilas aja penjelasan tempatnya, selebihnya seperti yang saya bilang, lebih mengedepankan perasaan Max dan Laura.

2. Lirik Lagu
Pengaruh lagu dalam novel ini kentel banget. Tapi berhubung saya bukan penikmat lagu, jadi saya kurang nyambung sama lagunya. Awalnya masih berusaha baca liriknya, tapi lama-kelamaan males dan akhirnya selalu saya skip. Tapi yah, berkat itu, saya jadi enggak ngerasain feelnya sama sekali. Soalnya kan, yang namanya lagu harus dirasain dengan denger nadanya juga. Mungkin cocok kalau baca buku ini sambil denger lagu-lagu yang ditunjukin, tapi saya enggak tertarik sama lagunya gimana dong.

3. Bosan
Oke, mungkin yang kasih alesan ini cuma saya aja. Tapi jujur saya agak bosan baca novel ini. Saya bukan penggemar novel romance yang suka diajak muter-muter menyelami perasaan tokoh-tokohnya sampai benar-benar dalam. Adegan di novel ini sebenarnya enggak banyak, cuma novelnya jadi tebel karena perasaan masing-masing bener-bener dijabarin. Saya tipe yang lebih suka dibawa dengan adegan-adegan yang beragam. Dari sana, saya bisa memahami perasaan karakter dengan tindakan dan kelakuan mereka tanpa harus si karakternya sendiri yang menjelaskan. Yah, kalau enggak terlalu mendetil sih biasanya enggak masalah, tapi yang ini bener-bener detil.

4. PoV yang membingungkan

Saya sering bingung waktu baca bagian Max karena saya kira itu Laura. Oke Max ngomong pake lo-gue, tapi secara tata bahasa, sama persis sama Laura, ini agak membingungkan.

5. Alur
Sejujurnya saya masih bisa menangkap alur maju-mundur dari awal novel sampai bagian 'play'. Tapi waktu baca yang 'fast forward', setelah adegan pernikahan Evan dan Cee, saya udah enggak bisa nangkep lagi alurnya, ini adegannya kapan dan di mana....

6. Opening dan Ending
Bagi saya, novel ini tidak punya opening dan tidak ada ending. Karena sejak pertama hingga akhir, sejujurnya, enggak ada perubahan besar. Awalnya, Max dan Laura bertemu kembali sebagai mantan pacar yang menjadi teman, mereka menyukai saat-saat pertemuan mereka di prudence, membicarakan mengenai apa pun tanpa kekhawatiran apa pun. Endingnya, mereka tetap di prudence, menghargai kebersamaan mereka tanpa tahu apa yang terjadi nanti, yang penting untuk mereka adalah saat itu, di situ, bersama-sama. Status hubungan tetap enggak jelas, gimana nantinya pun tetap enggak jelas. Bukannya memaksa supaya hubungan mereka jelas, tapi saya selalu percaya kalau novel yang baik itu akan ada perubahan di akhir cerita. Kalau diibaratkan, novel ini seperti hanya mengambil sepotong kecil kehidupan Max dan Laura.

7. Evan
Evan itu tokoh calon konflik, tapi....kok kayaknya kurang ke-eksplor ya konfliknya? Hehehe. Tapi saya enggak protes soal yang ini deh, soalnya saya suka Evan dan Cee :)

Udah ah reviewnya, panjaaang....

Anyway, seperti yang saya bilang, this novel is just not my type. Tapi saya yakin ada banyak pembaca yang akan suka cerita ini :)

No comments:

Post a Comment