Sunday, February 23, 2014

Amsterdam by: Arumi E.

Karena lagi tertarik-tertariknya sama Belanda, novel ini pun masuk kantong belanja. Berbeda dari review-review sebelumnya, saya akan mereview novel ini seperti penulis dalam blog review buku dalam 5 menit yang udah nggak pernah update sejak 2007. Anggi, sebagai tokoh utama, akan menceritakan sendiri kisahnya. Selamat membaca....

 
Halo, namaku Anggi. Aku orang Jogja yang mengambil jurusan kepariwisataan. Aku cewek biasa-biasa saja, tapi hidupku sempurna! Sebagai seorang pelayan restoran sekaligus guide, aku beruntung karena ada sepasang suami-istri Belanda super baik yang mengajakku ke Belanda untuk jadi anak angkat mereka. Wow! Padahal mereka bahkan tidak bisa melafalkan namaku dan merubahnya jadi Enji.

Tanpa masalah berarti (ibuku langsung mengiyakan waktu aku mau ke Belanda, ibu sayang banget sama aku), aku ke Belanda dan punya kakak ganteng dan tinggi bernama Pieter.

Dari pertemuan yang kebetulan, aku yang bertampang biasa-biasa saja ini bertemu Jayden.

"Halo Enji, aku nggak bisa melafalkan namamu dengan baik, tapi gimana kalau kita pacaran?" tanya Jayden.

"Halo Jayden. Aku sebenarnya nggak suka-suka amat sama kamu, tapi karena kamu ganteng dan kayaknya pacaran sama seniman itu oke, aku mau deh pacaran sama kamu. Toh kalau aku suka sama Pieter bisa gawat, dia kan ceritanya kakakku."

Tak tahan digoda cewek cantik, Jayden pun selingkuh. Hubungan kami berakhir.

"Enji, kok kamu putusin aku!? Aku bisa jelasin!"

"Nggak perlu, semua sudah jelas."

"Karena aku tidur sama cewek lain, nggi?"

"Bukan, soalnya kamu nggak konsisten. Kadang manggil aku 'Enji', kadang 'Anggi'. Kamu mau ngeledek aku, ya??? Kita putus!!"

Hubungan kami pun benar-benar berakhir.

Di sinopsis belakang novel sih ceritanya aku akan bertemu cinta sejatiku yang bernama Ryuga. Tapi ini sudah 3/4 novel dan aku belum ketemu sama dia. Apa penulisnya salah tulis nama, ya? Jangan-jangan itu maksudnya Jayden? Iihhh.... ntar aku balikan lagi dong sama dia?

Oke, daripada pusing, mending aku pulang ke Jogja dulu deh. Ceritanya aku mau coba move-on dari Jayden. Padahal sebenernya aku kan nggak sakit hati amat, soalnya udah kubilang aku nggak suka-suka amat sama dia. Tapi nggak apa-apalah pulang ke Jogja sebentar, kali ada calon konflik baru. Dan lumayan bikin Pieter kangen pas aku nggak ada.

Di Jogja, bapak yang nggak pernah kuanggap bapak, mendatangi keluargaku. Setelah meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu, ntah dari cenayang mana bapakku itu tahu sekarang aku tinggal di Belanda.

"Oh, aku tahu! Bapak ini calon konflik baru!" seru pembaca yang antusias, akhirnya ada juga konflik dalam novel ini.

"Nggak, bapak cuma minta duit buat pengobatan. Aku kasih biar dia nggak ganggu kami lagi. Masalahnya selesai kurang dari 1 bab, kok."

"Jadi nggak ada hubungannya sama cerita kamu selanjutnya?"

"Nggak."

Kayaknya pembaca mulai berpikir untuk nge-drop novel ini, jadi aku pun kembali ke Belanda untuk membuat kemungkinan adanya konflik lain.

Ryuga akhirnya muncul! Cinta sejatiku di sinopsis! Calon konflik yang membuat Pieter makin cemburu! Yeah!

Cerita cinta kami berjalan mulus. Kami bertemu, kami akrab, dan akhirnya pacaran.

"Kamu sadar kan aku orang Jogja, bukan orang Jepang?"

"Iya. Orangtua kamu cuma iseng kasih nama, kan? Lagipula nama kamu nggak ada hubungannya dengan ceritaku."

"Jadi namaku bukan calon konflik?"

"Bukan, aku juga nggak masalah kalau namamu Paijo. Paling Pieter bakal salah sebut jadi Peiyo."

Tapi, kuliah Ryuga akhirnya selesai, dia pun kembali ke Jogja untuk menyelesaikan kontrak kerja. Aku ingin kembali ke Jogja tapi Pieter menahanku.

"Enji, jangan pulang, aku suka kamu, menikahlah denganku!"

"Tapi Pieter, kamu kakakku..."

"Kita kan bukan saudara sedarah, kita bisa menikah! Soal kamu Islam dan aku Katolik itu nomer ke-sekian lah. Masa judul novelnya Amsterdam tapi kamu malah jatuh cinta sama orang Jogja juga? Dia kuliahnya di Leiden pula. Yang kuliah di Amsterdam kan aku!"

"Tapi Pieter...." aku berpikir sebentar, "Oke, aku ke Jogja dulu sebentar deh. Kalau Ryuga kelihatan benar-benar cinta sama aku, aku nggak bisa nerima kamu. Tapi kalau Ryuga ternyata nggak antusias amat sama aku, aku mau deh sama kamu."

"Beneran? Oke, aku ikut ke Jogja!"

Ketakutanku terbukti, Ryuga akrab sama cewek lain dan nggak antusias pas aku dateng. Oke, aku pulang ke Belanda dan mempertimbangkan untuk menikah dengan Pieter.

"Kamu nggak melepas rindu sama keluarga ato apa gitu sebelum balik? Aku kan belum ketemu Ibu-bapakmu," tanya Pieter.

"Nggak usah, semua baik-baik saja tanpa konflik. Lebih baik kita ke Belanda dan selesaikan cerita ini segera."

"Oke."

Di Belanda, aku akhirnya hilang kontak dengan Ryuga. Tapi, seperti novel-novel kebanyakan, Ryuga datang di saat-saat terakhir untuk melamarku, mengempaskan kemungkinan Pieter, si tokoh paling baik dalam cerita ini untuk menikah denganku.

TAMAT

Sunday, February 16, 2014

[Kumcer] Tales from the Dark



Janjinya sih nggak beli novel bulan ini....

Tapi yang namanya orang golongan darah B itu sering biin janji untuk diri sendiri, dan sering ngelanggar sendiri. Jadi, meski nggak bisa dibilang beli novel juga sih.... saya tergoda beli kumcer ini....

Sebenarnya agak ragu juga beli kumcer ini. Takut nggak sesuai harapan kayak kumcer horor gramedia sebelumnya, Before the Last Day. Bertema sehari sebelum kiamat, cerpen-cerpennya banyak yang nggak masuk akal. Yah biarpun cerita fiksi, rasanya agak aneh aja kalo ada karakter jenius yang bisa memprediksi jatuhnya meteor tanpa peralatan yang memadai (belum termasuk kenyataan kalau karakter ini nggak ditangkep dan diculik sama NASA).

Oke, masuk ke review deh.

Tales of the Dark ini adalah kumpulan cerpen dari 13 penulis berbeda. Genrenya horror, thriller, atau dua-duanya. Secara keseluruhan, saya cukup suka cerpen-cerpennya dan merasa tidak menyesal mengeluarkan 57.000 untuk beli buku ini di toko buku. Kenapa pake bahas harga sih? Bikin sakit hati aja.


Saturday, February 8, 2014

Jatah Komik 2 Bulan!!

Setelah pindah dari kerjaan lama ke kerjaan baru, saya struggle dengan masalah keuangan. Berusaha menahan diri nggak beli novel atau komik apa pun. Tapi akhirnya minggu kemarin saya dapet gaji dari kerjaan baru dan langsung kalap pesen onlen komik-komik langganan yang saya tinggalkan beberapa lama.

Ini dia...


Oresama teacher & Kisah edo di abad 21 akhirnya dilanjut juga, wahahaha :D
Padahal masih ada 5 komik lagi yang seharusnya dianter juga, tapi sayang.... SAYA KEABISAN STOK!!! ARRGGGHHH!!!

Ini nih ruginya nunda-nunda beli komik. Entah kenapa sekarang para penerbit komik kayaknya cuma nyetak sedikit untuk tiap seri komik. Dan komik-komik yang cuma dicetak dikit ini pun akhirnya langsung abis di pasaran, TANPA CETAK ULANG. Ngarep komik-komik ini beredar di diskonan kayak dulu sepertinya mustahil.

--edit--
Akhirnya yang tadinya stoknya abis, ada juga :)
Oke....

Setelah menghabiskan ratusan ribu demi beli komik yang harga standarnya baru saja naik jadi 20.000 ini, saya memutuskan untuk tidak membeli novel apa-pun bulan ini. Lagipula, di atas meja masih banyak tumpukan novel yang belum dibaca.

Sip, sampai berjumpa bulan depan, novel-novel tersayang....

Thursday, February 6, 2014

Melbourne by: Winna Effendi

Selesai baca buku ini dalam satu hari, dan jujur ini bukan seri STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) favorit saya. Saya akan mereview secara subyektif karena mungkin yang bikin saya kurang suka buku ini adalah karena ini bukan buku tipe saya (halah). Setelah selesai baca, saya udah yakin buku ini punya pasarnya sendiri, dan punya penggemarnya sendiri. Karena untuk orang yang suka baca buku yang menjelaskan dengan detil perasaan seseorang, atau orang yang suka baca tulisan disertai lirik lagu (apalagi kalau tahu lagunya) buku ini AMAT SANGAT menarik. Kalau saya adalah orang itu, saya akan merasa tersanjung bisa mengoleksi buku ini.

Tapi sekali lagi, sayangnya saya bukan tipe pembaca begitu, jadi untuk saya pribadi, buku ini kurang berkesan. Saya akan menjabarkan kenapa saya kurang bisa masuk dengan cerita di buku ini.

1. Setting
Menurut saya, ini adalah seri STPC yang settingnya paling gak kerasa. Secara keseluruhan, buku ini bercerita mengenai perasaan Max dan Laura dengan plot rewind-play-fast forward. Oke, tempatnya memang di Melbourne, tapi kebanyakan mereka berdua nongkrong di prudence, cafe kesukaan mereka, sambil membicarakan kembali masa lalu. Sementara Melbournenya sendiri, yang notabennya jadi judul, malah kurang dieksplor. Emang sih ada beberapa adegan di tempat-tempat tertentu di Melbourne, tapi menurut saya tetap kurang kerasa karena cuma sekilas-sekilas aja penjelasan tempatnya, selebihnya seperti yang saya bilang, lebih mengedepankan perasaan Max dan Laura.

2. Lirik Lagu
Pengaruh lagu dalam novel ini kentel banget. Tapi berhubung saya bukan penikmat lagu, jadi saya kurang nyambung sama lagunya. Awalnya masih berusaha baca liriknya, tapi lama-kelamaan males dan akhirnya selalu saya skip. Tapi yah, berkat itu, saya jadi enggak ngerasain feelnya sama sekali. Soalnya kan, yang namanya lagu harus dirasain dengan denger nadanya juga. Mungkin cocok kalau baca buku ini sambil denger lagu-lagu yang ditunjukin, tapi saya enggak tertarik sama lagunya gimana dong.

3. Bosan
Oke, mungkin yang kasih alesan ini cuma saya aja. Tapi jujur saya agak bosan baca novel ini. Saya bukan penggemar novel romance yang suka diajak muter-muter menyelami perasaan tokoh-tokohnya sampai benar-benar dalam. Adegan di novel ini sebenarnya enggak banyak, cuma novelnya jadi tebel karena perasaan masing-masing bener-bener dijabarin. Saya tipe yang lebih suka dibawa dengan adegan-adegan yang beragam. Dari sana, saya bisa memahami perasaan karakter dengan tindakan dan kelakuan mereka tanpa harus si karakternya sendiri yang menjelaskan. Yah, kalau enggak terlalu mendetil sih biasanya enggak masalah, tapi yang ini bener-bener detil.

4. PoV yang membingungkan

Saya sering bingung waktu baca bagian Max karena saya kira itu Laura. Oke Max ngomong pake lo-gue, tapi secara tata bahasa, sama persis sama Laura, ini agak membingungkan.

5. Alur
Sejujurnya saya masih bisa menangkap alur maju-mundur dari awal novel sampai bagian 'play'. Tapi waktu baca yang 'fast forward', setelah adegan pernikahan Evan dan Cee, saya udah enggak bisa nangkep lagi alurnya, ini adegannya kapan dan di mana....

6. Opening dan Ending
Bagi saya, novel ini tidak punya opening dan tidak ada ending. Karena sejak pertama hingga akhir, sejujurnya, enggak ada perubahan besar. Awalnya, Max dan Laura bertemu kembali sebagai mantan pacar yang menjadi teman, mereka menyukai saat-saat pertemuan mereka di prudence, membicarakan mengenai apa pun tanpa kekhawatiran apa pun. Endingnya, mereka tetap di prudence, menghargai kebersamaan mereka tanpa tahu apa yang terjadi nanti, yang penting untuk mereka adalah saat itu, di situ, bersama-sama. Status hubungan tetap enggak jelas, gimana nantinya pun tetap enggak jelas. Bukannya memaksa supaya hubungan mereka jelas, tapi saya selalu percaya kalau novel yang baik itu akan ada perubahan di akhir cerita. Kalau diibaratkan, novel ini seperti hanya mengambil sepotong kecil kehidupan Max dan Laura.

7. Evan
Evan itu tokoh calon konflik, tapi....kok kayaknya kurang ke-eksplor ya konfliknya? Hehehe. Tapi saya enggak protes soal yang ini deh, soalnya saya suka Evan dan Cee :)

Udah ah reviewnya, panjaaang....

Anyway, seperti yang saya bilang, this novel is just not my type. Tapi saya yakin ada banyak pembaca yang akan suka cerita ini :)

Pssst...! (5 sahabat, 5 negara, 5 rahasia) by: Dy Lunaly




Sinopsis:
 Enggak ada yang salah dengan liburan atau negara ini. Aku yang salah. Salah enggak, sih, nyimpen rahasia dari sahabat sendiri?
-Wira

Ada banyak alasan kenapa aku memilih Belgia, termasuk karena aku akan lebih jujur kepada mereka. Semoga!
-Jiyad

Luksemburg, ada apa di negara kecil ini? Nggak tahu, sih, sama enggak tahunya kalau pilihanku ini akan menjadi bencana. HELP!
-Noura

Aku lebih dari sekadar bahagia ketika merayakan ulang tahun di depan Menara Eiffel. Tapi, Wira merusaknya dengan sempurna! ARGH!
-Adhia

Tiga kesalahan! Memilih tujuan liburan dengan dart, mengubah rencana di detik terakhir, dan yang paling parah, akhirnya aku jujur kepadanya. Eh, itu kesalahan bukan, ya?
-Kalyan


Review:
Pertama kali beli buku ini, bener-bener enggak sabar mau baca. Karena, wow! Covernya menarik banget. Tapi yang paling bikin menarik itu sinopsisnya, serius. Buku dengan setting luar negeri itu sekarang berhamburan di mana-mana, rasanya para penikmat buku lagi keranjingan dengan tipe buku kayak gitu (saya termasuk salah satu dari mereka, tentu saja).

Yang penasaran, coba baca deh sinopsisnya, menarik banget, kan? Well, ada Luksembourg yang jadi salah satu destinasi pilihan 5 sahabat ini. Itu lah yang membuat saya memutuskan mengambil buku ini dari rak buku dan membawanya ke kasir.

Tapi setelah habis di baca, well...saya kecewa. Saya pikir akan ada rahasia besar apa yang mereka sembunyikan, saya pikir mereka semua menentukan destinasi menggunakan dart, saya pikir Kaylan melakukan kesalahan besar dengan mengubah keputusan di detik terakhir... Dan ternyata apa yang udah ada di benak saya sebelum membaca buku ini salah semua. Kenapa? Karena saya sudah mengharapkan sesuatu yang lebih, tapi saya tidak mendapatkannya.

Jujur, menurut saya konflik di buku ini terlalu....datar. Kelima sahabat ini masing-masing memendam rahasia kalau mereka memendam perasaan pada sahabat yang lain. Sementara sudah ada perjanjian di antara mereka untuk tidak mencintai sesama sahabat supaya bisa menjaga hubungan baik persahabatan. Well, berapa kali sih kita nemuin cerita dengan konflik kayak gini? Banyak.

Jadi, inilah yang membuat saya agak kecewa. Penyampaiannya pun terlalu biasa dan kurang menarik (saya mengakui beberapa penulis itu hebat karena bisa membuat ide cerita yang biasa jadi menarik dengan gaya penceritaannya yang khas).

Setelah saya perhatikan, buku ini juga menganut perbandingan deskripsi-dialog, 20-80. Wow, ekstrim. Saya sangat suka membaca dialog dalam buku dan kurang suka yang deskripsinya terlalu panjang dan bertele-tele. Tapi jelas, buku ini terlalu banyak dialognya.

Padahal, dengan lima destinasi berbeda, seharusnya akan lebih banyak deskripsi yang bisa di gali. Saya sama sekali tidak merasakan adanya kaitan 5 destinasi (Belanda, Belgia, Luksemburg, Prancis, dan Italia) dengan kisah mereka berlima. Ini kayak cerita+setting, udah. Kurang ada keterkaitan karena penulis cuma menggambarkan jalan-jalannya mereka ke beberapa destinasi di negara yang mereka pilih masing-masing.

Menurut saya, cerita dengan setting luar negeri yang bagus adalah, penggambaran negara yang bagus dari si penulis, gak peduli si penulis udah pernah ke sana atau belum (biasanya yang udah bisa lebih tahu, sih).

Bagaimana penggambaran yang bagus itu? Well, bukan dari tempat-tempatnya aja, bukan cuma menara eiffel itu tempat yang romantis, apalagi waktu malam. Tapi juga perlu ditambah, orang-orangnya rata2 juga romantis, bahkan kalau mereka bicara seolah seperti sedang menyatakan cinta.

Dari lima destinasi ini, saya tidak menemukan satu kalimat pun yang menggambarkan karakter orang-orang di negara tersebut, karena cerita ini hanya berfokus ke kisah mereka berlima. Padahal tempat dan karakter manusianya merupakan kesatuan yang menggambarkan ciri tiap negara. Inilah yang saya bilang jatuhnya jadi seperti cerita + setting.

Saya mengharapkan interaksi mereka berlima dengan orang-orang sekitar, bukan hanya benda mati (tempat2 bersejarah) yang mereka datangi. Mungkin akan lebih menarik jika ada konflik yang berkaitan dengan orang2 di negara itu.

Soal karakter, menurut saya juga kurang tergali dengan baik dan matang. Waktu membaca chapter tentang Wira, saya cuma bisa membayangkan tampang Wira, tanpa tahu bagaimana keempat sahabatnya yang lain, bahkan Kaylan sama sekali gak kebayang karena dia cuma muncul nama aja.

Saat saya baca chapter Jiyad, saya lebih bingung lagi, karena saya sama sekali tidak bisa membayangkan Jiyad itu tampangnya kayak apa. Oke dia suka fotografi, kalem, pendiam. Tapi gayanya kayak apa? rambutnya gondrong kah? cowok banget kah? kulitnya putih? sawo matang?

Saya baru mendapatkan jawabannya saat membaca chapter Noura. Ternyata Jiyad itu tinggi besar, berkulit kecoklatan dan rambutnya cepak. Sepanjang 2 chapter, bagi saya wujud Jiyad sama sekali belum berbentuk di benak saya, dan ini agak menyebalkan.

Dan di chapter Noura ini juga, saya baru tahu kalau Wira itu pakai kacamata. Ya ampun, telat banget. Saya enggak meminta penulis untuk menggambarkan detil mereka satu persatu di awal chapter, karena pasti panjang dan jadi kehilangan tujuan utama untuk nyeritain Wira. Tapi paling enggak, penulis harus menemukan cara untuk membuat imajinasi pembaca bisa menangkap bagaimana sosok kelima orang ini, dari awal cerita. Gak perlu dari atas sampai bawah. Cukup penggambaran kasar aja. Itu akan sangat membantu.

Satu lagi yang membuat saya jengah adalah, pengulangan. Iya Wira suka sama Adhia, mau diulang sampai berapa kali? Pembaca tahu kok fakta itu walaupun Noura cuma nyebut sekali dalam hati "untung wira enggak lihat ini," waktu Adhia sama Kaylan akrab banget. Sebab, gak semua pembaca itu sama kayak Adhia dan Kaylan, sama-sama enggak bisa ngelihat tanda-tanda kalo mereka saling suka. Ini udah ketebak dari awal, ditambah pengulangan-pengulangan hint di sana-sini, sejujurnya itu membuat cerita jadi agak membosankan.

Oke, kayaknya panjang banget reviewnya.

Dari sepanjang ini, mungkin saya yang sejak awal salah. Dari cover aja udah jelas, bentang belia. Dan udah berapa ratus buku saya baca soal konflik cinta anak muda begini. Jadinya kalau terlalu biasa, saya kecewa. Mungkin kalau saya bacanya waktu masih 16-17 tahun saya akan cukup suka dengan cerita ini

Marriagable: Gue mau nikah asal.... by: Riri Sardjono

Komen pertama saya setelah baca novel ini: mind fuck.

Biasanya saya bilang gitu untuk novel/film thriller yang jalan ceritanya bener-bener nggak ketebak.

Tapi mind fuck yang ini beda. Saya akui penulis memang pintar membuat kesimpulan yang pintar dalam novel yang dikuasai adegan celoteh segerombolan cewek + satu cowok (yang bisa diitung sebagai cewek) dalam menghadapi masalah percintaan dengan lelaki, terutama masalah perempuan. Berhubung pola pikir mereka cenderung feminis, akan ada dua tanggapan berbeda dari pembaca yang mengikuti novel ini.

Yang pertama adalah golongan feminis atau yang berpotensi menjadi feminis. Tanggapannya dengan mengangguk-angguk dan bilang, "oh iya, bener juga."

Sementara yang kedua adalah golongan bukan feminis atau sama sekali nggak peduli. Tanggapan mereka adalah bingung dan bilang, "hah?"

Novel ini menggambarkan kegundahan dan kegalauan Flo yang awalnya terpaksa menikah karena umurnya sudah 32 (atau 31? atau 30?)

Flo: pokoknya 30-an deh!

Oke... habisnya umur Flo di novel ini agak nggak konsisten.

Ngomong-ngomong kalau penulis sengaja membuat tokoh Flo untuk disebelin....yeay! you did a great job. Saya sebel sama Flo yang terlalu banyak mikir, terlalu cemas sama macem-macem, dan yang paling utama, menyelesaikan masalah dengan masalah.

Rasanya pengen jadi Ara dan di akhir cerita ngomong sama Flo, "Tuh kan, apa gue bilang!"

Yup, biar dikata Ara adalah tokoh yang digambarkan terlalu naif dan kesannya terlalu banyak bermimpi, saya setuju sama dia. Masih heran kenapa Ara bisa seakrab itu sama teman-temannya yang tergolong feminis garis keras.

Pemikiran pembaca tentang cinta akan diputar-putar selama baca novel ini. Saya sih sering nggak bisa mengikuti pemikiran mereka karena terlalu rumit. Buat saya yang tergolong sederhana ini, kalau suka ya bilang aja suka. Kalau nggak bilang nggak. Kalau mau bilang suka tapi takut ada masalah nantinya, ya hadapin masalah nantinya nanti aja, toh belum kejadian.

Sementara itu Flo si tokoh utama berpikir untuk menunda-nunda bilang kalau dia suka sama Vadin, laki-laki yang jadi suaminya karena dijodohkan.

"kenapa?"

"part of me ngerasa takut alau Vadin tahu dia bakal menginjak-injak gue. Atau dia jadi bosan sama gue."

"Karena tantangannya sudah nggak ada?"

"Karena gue sudah ada dalam genggamannya."

Reaksi saya: Hah?? (yup, saya pembaca golongan kedua).

Sepertinya Flo adalah salah satu cewek yang menganggap hubungan cewek dan cowok adalah mana yang menguasai dan dikuasai.

Oke, di luar ketidakcocokan pemikiran saya dengan para feminis garis keras ini, novel marriageable memang easy to read meski ini novel dewasa (duh, biasa baca novel anak-anak sih). Joke-joke yang dilontarkan dalam dialog juga oke dan smart.

Karakter tiap tokoh tergali dengan baik. Awalnya Flo dan Vadin sebagai tokoh utama sangat menonjol dan teman-teman Flo masih samar karakternya, sehingga saya menganggap mereka semua sama. Tapi perlahan karakter teman-temannya satu-satu dibuka dan membuat pembaca bisa mengimajinasikan tiap karakter.

Ada beberapa typo dan kesalahan seperti ketidakkonsistenan umur Flo yang tadi saya sebut. Tapi pada akhirnya saya memberi bintang 3 karena novel ini mampu menarik saya untuk membaca sampai selesai dalam waktu yang singkat :)

Wednesday, February 5, 2014

Maktaba Nana

Setelah lama mencampur postingan soal buku di blog pribadi yang super random, saya bermaksud untuk membuat blog sendiri tentang buku, terutama review buku.

Maktaba Nana bahasa Swahili yang artinya "Perpustakaan Nana". Saya ambil dari bahasa Swahili soalnya lucu :) Mirip username twitter saya karena ada unsur "banana"-nya kalau digabung. Daaann... Maktaba itu kebaca kayak martabak, hehehe. Saya suka martabak (penting).

Saya paling suka martabak coklat-kacang

Martabak telor lebih doyan lagi sih, tapi....mahal :p
Ini kenapa topiknya belok ke martabak?

Yaudah, intinya postingan ini adalah pembuka blog buku yang akan benar-benar ngebahas buku, bukan makanan. Ya...kalau bukunya tentang makanan sih apa boleh buat yah....