Monday, March 26, 2018

[REVIEW] Di Tanah Lada


Nggak heran buku ini jadi pemenang kedua Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Karena belum baca buku pemenang pertamanya, jadi belum bisa ngebandingin mana yang lebih bagus, sih. Tapi ini aja udah bagus banget!

Pertama kali baca karya Ziggy atau Zee itu novel 'the other side' keluaran Dar!Mizan. Itu juga beli karena lagi diskon. Daan.... gue nggak nyangka ada novel Dar!Mizan seberat itu. Akhirnya langsung beli teru-teru bozu, wonderworks, toriad, saving ludo, juga novel-novelnya yang dia tulis pakai penname Ginger Elyse Shelley karena nggak mau orang lain tahu kalau dia nulis. Hahahaha.

And finally, nama Zee mulai dikenal semenjak dia langganan jadi pemenang DKJ tiga kali. Novelnya yang terakhir 'Semua Ikan di Langit' jadi juara pertama DKJ 2016 tanpa ada juara 2 dan 3. Karena, para juri berpendapat bahwa kualitas novelnya dia dan novel yang mendapat penghargaan setelahnya beda jauh. Jadilah juara 2 dan 3 ditiadakan, dan Ziggy jadi pemenang tunggal. How cool is that!? Lalu gue mempertanyakan apa aja yang udah gue lakukan selama ini sementara Ziggy yang lebih muda tiga tahun udah dapet penghargaan di mana-mana. Dan di umur yang sama, Marc Marquez udah juara dunia enam kali! T____T

Ini kenapa malah curhat?

Oke, mari masuk ke review.

Sejujurnya, gue hampir nggak menyelesaikan novel ini karena rasanya terlalu menyesakkan. Hiks. Rasa-rasanya baru kali ini gue baca buku sesedih ini lagi sejak A Child Called 'It'--novel bantal pertama yang gue baca waktu SMP. Tema besarnya pun mirip-mirip, tentang anak kecil yang menerima kekerasan dalam keluarganya. Kalau Dave dipanggil 'it' dan dianggap barang, Ava hampir dikasih nama 'saliva' sama papanya karena dianggap nggak berguna--kayak ludah.  Untung Mama Ava sempat mengganti diam-diam namanya di akta kelahiran menjadi Salva yang berarti "penyelamat".

Ava terpaksa ikut pindah ke Rusun Nero karena papanya menjual rumah dan sengaja mencari tempat tinggal yang dekat dengan kasino. Kejadian ini terjadi setelah Kakek Kia--orang kesayangan Ava--meninggal dunia. Kakek Kia pernah memberikan Ava sebuah kamus bahasa Indonesia di ulang tahunnya yang ketiga. Dan berkat kamus itu, Ava mengerti kata-kata sulit yang belum sewajarnya anak enam tahun mengerti. Berbekal kamus itu juga, Ava berusaha memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Termasuk apa yang dialami oleh teman barunya yang hanya memiliki satu huruf sebagai namanya, P.

Sama-sama mengalami kekerasan fisik dan mental dalam keluarga, Ava dan P kemudian berteman akrab. Ava memberi P panggilan 'Pepper' karena ia merasakan kehangatan sifat P yang selalu ia terima, sama seperti lada yang membuat tubuh hangat. Perjalanan dan petualangan mereka berdua membuka lembaran baru serta fakta-fakta mengejutkan yang tidak mereka ketahui sebelumnya mengenai pemikiran dan kelakuan orang dewasa di sekitar mereka.

Novel ini unik karena ditulis dengan sudut pandang anak usia enam tahun yang terbilang jenius. Meskipun cara berpikirnya berbeda dari anak kebanyakan, Ava tetaplah anak-anak yang belum bisa merangkai kalimat terlalu panjang. Dialog dan narasi dalam novel benar-benar membuat pembaca merasa bahwa Ava yang menceritakan kisah hidupnya sendiri.Dan walaupun bahasanya ringan seperti bahasa anak-anak, pesan yang disampaikan serta cerita novel ini termasuk berat. Perlu beberapa detik untuk mencerna apa yang sedang terjadi dalam cerita. Dalam kasus gue, gue berhenti karena keseringan mewek.

Beberapa potongan dari novel:

Ini terjadi tiap hari. Bukan karena AC, tapi karena rasanya memang dingin. Bagian dalam rumah selalu gelap. (Kata Kakek Kia, terang itu menandakan panas. Jadi, ini ada hubungannya. Aku tidak meracau.) Seperti ada hantu yang menggentayangi seluruh bagian rumahku. (Kata orang, hantu membuat ruangan jadi dingin.) Hanya saja, di dalam sini, hantunya hidup. Hidup, berbadan besar, dan sangat menakutkan. Nama hantunya Papa.
(hal 2)

Aku sedih sekali melihat Pepper menangis seperti itu. Pepper tidak pernah menangis. Bukan karena ia anak laki-laki, tapi karena Pepper adalah Pepper. Dia tidak menangis, bahkan meskipun dia harus tidur di atap. Dia tidak menangis, bahkan meskipun dia harus membayar uang sewa kamar. Dia tidak menangis, bahkan meskipun lengannya melepuh dibakar panas setrikaan.
(hal 152)

 Nggak, gue nggak nangis kok bacanya....

"Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi," katanya. "Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut." --> kata Mas Alri pada Ava dan Pepper.
(hal 197)

1 comment:

  1. Ini emang bagus banget banget. Tapi ada sih bagian-bagian yang kayaknya 'sepinter apa pun Ava mestinya nggak paham'. Endingnya tapi nyebelin. Dark abis.

    ReplyDelete